Kabupaten Cianjur

Letak dan Keadaan Alam
Cianjur adalah salah satu kabupaten yang ada di Jawa Barat. Daerah yang letaknya diantara Bogor dan Bandung ini dilalui oleh jalur lintas selatan yang menghubungkan antara ibukota negara (Jakarta) dan ibukota Provinsi Jawa Barat (Bandung). Secara astronomis letaknya antara 106°,42¢--107°,25¢ Bujur Timur dan 06°,21¢--07°,32¢ Lintang Selatan.

Daerahnya sebagian merupakan dataran tinggi dan sebagian lainnya dataran rendah. Dataran tingginya merupakan kaki Gunung Gede yang berketinggian kurang lebih 2.962 meter dari permukaan air laut. Sedangkan, dataran rendahnya berada di daerah selatan yang didominasi oleh persawahan. Ini pertanda bahwa sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani, baik itu buruh tani, petani penggarap maupun petani penggarap dan sekaligus pemilik. Sebagai catatan, sawah yang mereka garap tidak semuanya menggunakan sistem irigasi karena ada juga yang bergantung pada turunnya hujan (sawah tadah hujan). Sebelum musim penghujan biasanya sawah ini ditanami dengan tanaman palawija seperti: bawang merah, kacang tanah, dan kedelai. Jenis tanahnya yang sedemikian rupa dan cocok untuk jenis padi tertentu, khususnya pada sawah yang menggunakan sistem irigasi, pada gilirannya menghasilkan beras yang khas, yaitu beras cianjur.

Pada sawah yang menggunakan sistem irigasi, biasanya setelah padinya dituai, sawah tersebut segera dicangkul dan atau dibajak. Sebelum sawah ditanami dengan benih padi, ada juga yang memanfaatkan untuk memelihara ikan. Dan, ikan tersebut segera dipindahkan ke balong (kolam) ketika benih padi sudah siap untuk ditanam. Seminggu sebelum padi dituai, pemiliknya biasanya mengundang seorang dukun candoli atau wali puhun dan beberapa orang tetangga. Pengundangan tersebut bertujuan untuk memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa si pemilik sawah akan melakukan penuaian padi. Dalam konteks ini sang candoli bertugas menentukan waktu yang tepat untuk menuai padi berdasarkan hari pasaran seperti: kliwon, manis, pon, dan wage. Setelah waktu yang ditetapkan tiba dan persyaratan penuaian telah tersedia, (sesajian) seperti: sawen, pucuk tanjeur, pucuk gantung, empos (kukus yang berkaki), nasi tumpeng beserta lauk pauknya, maka sang candoli pun mengucapkan mantra, kemudian menyemburkan air sirih ke empat penjuru angin. Setelah itu, ia pun memotong padi sebagai simbol bahwa penuaian sudah dapat dilaksanakan.

Cianjur tampaknya tidak hanya dikenal karena sebagian wilayahnya termasuk dalam “kawasan puncak” (bahkan “puncak pas” ada di wilayahnya) dan berasnya yang khas, tetapi juga bahasa Sundanya yang “murni” dan “halus” dan kesenian kecapi-suling-nya. “Kemurnian” dan “kehalusan” karena daerahnya termasuk dalam wilayah Priangan (Harsojo, 1999:307). Sedangkan, kecapi-suling-nya yang khas pada gilirannya membuat kesenian tersebut disebut sebagai kecapi-suling-cianjuran. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Harsojo (1999:308) mengatakan bahwa kecapi-suling-cianjuran, sesuai dengan namanya, berasal dari daerah Cianjur. Selain itu, ada satu hal lagi yang mengingatkan nama daerah ini, yaitu asinan-nya. Asinan yang cukup tersohor di daerah ini adalah yang berada di dekat persimpangan yang jika lurus akan menuju ke Sukabumi (dari Bandung) dan jika belok kanan menuju Bogor dan atau Jakarta.

Sosial-Budaya
Bahasa
Masyarakat Cianjur adalah pendukung kebudayaan Sunda. Dalam berkomunikasi mereka menggunakan.bahasa Sunda-Priangan yang menurut Harjoso lebih “murni” dan “halus” dibandingkan dengan bahasa Sunda-non-Priangan, seperti orang: Banten, Karawang, Bogor, dan Cirebon. Sayangnya Harsojo tidak menjelaskan secara rinci mengapa bisa demikian. Ia hanya menjelaskan bahwa adanya perbedaan “kemurnian” dan “kekurang-murnian” serta “kehalusan” dan “kekurangan-halusan” bahasa di kalangan orang Sunda barangkali sangat erat kaitannya dengan aspek sejarah. Di masa lalu misalnya, budaya Mataram-Islam pernah berpengaruh di daerah Priangan. Bahkan, pada abad ke-19 ada jalinan hubungan kekerabatan dan kebudayaan antara kaum bangsawan Sunda (khususnya di daerah Sumedang) dan kaum bangsawan di Surakarta dan Yogyakarta. Selain itu, ada kemungkinan bahwa iklim-iklim dan lingkungan alam memberikan pengaruh kepada aspek-aspek tertentu dari bahasa (Harsojo,1999:308). Ini artinya geografis merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi adanya perbedaan unsur-unsur budaya suatu masyarakat, walaupun masyarakat tersebut masih merupakan bagian dari masyarakat suatu sukubangsa.(Sunda). Kedua faktor itu (bahasa dan kebudayaan) yang kemudian menjadi jatidiri orang Sunda. Untuk itu, tidak berlebihan jika Ajip Rosidi dalam Ekadjati (1984) yang dikutip oleh Sucipto, dkk (2000) mengatakan bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa yang disebut orang Sunda adalah mereka yang sehari-hari mempergunakan bahasa Sunda dan menjadi pendukung kebudayaan Sunda. Tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Sunda itu sendiri, termasuk budaya masyarakat Cianjur, tidak lepas dari adanya kontak-kontak dengan kebudayaan lain. Ini bermakna bahwa masyarakat Sunda terbuka. Dalam konteks ini masyarakat Sunda mudah sekali menerima (menyerap) unsur-unsur budaya lain, kemudian menjadikannya sebagai bagian dari budayanya.

Sistem Kekerabatan
Masyarakat Cianjur, sebagaimana masyarakat Sunda lainnya, dalam menentukan siapa-siapa yang termasuk dalam kerabatnya mengacu pada garis keturunan garis ayah dan ibu. Dengan perkataan lain, prinsip keturunan yang mereka anut adalah bilateral (kerabat tidak hanya didasarkan pada garis keturunan ayah seperti halnya masyarakat Batak dan atau ibu saja seperti halnya masyarakat Minangkabau, tetapi keduanya). Bentuk keluarga terpenting adalah keluarga-batih. Keluarga ini terdiri atas suami, isteri, dan anak-anak yang diperoleh dari perkawinan atau adopsi. Hubungan antaranggota keluarga-batih sangat erat karena merupakan tempat yang paling aman bagi anggotanya di tengah-tengah hubungan kerabat yang lebih besar dan di tengah-tengah masyarakat. Di dalam rumah tangga keluarga-batih itu juga sering terdapat anggota-anggota keluarga lain seperti ibu mertua atau keponakan (anak adik suami dan atau isteri). Selain keluarga-batih ada pula sekelompok kerabat sekitar keluarga-batih yang masih sadar akan hubungan kekerabatannya yang disebut sebagai golongan yang dalam ilmu antropologi disebut kindred (Harsojo, 1999:320). Masyarakat Sunda, termasuk masyarakat Cianjur, juga mengenal kelompok yang berupa ambilineal karena mencakup kerabat sekitar keluarga-batih seorang ego yang diorientasikan ke arah nenek moyang yang jauh di dalam masa lampau. Kelompok ini disebut bondoroyot (lihat Harsojo, 1999).

Sejalan dengan prinsip keturunannya yang bilateral maka istilah kekerabatannya juga mengarah ke sana. Dilihat dari sudut ego mereka mengenal istilah-istilah tujuh generasi ke atas dan ke bawah. Ketujuh generasi ke atas adalah: kolot, embah, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, dan gantung siwur. Sedangkan, ketujuh generasi ke bawah adalah: anak, incu, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, dan gantung siwur. Meskipun mereka mengenal tujuh generasi ke atas dan ke bawah, namun dewasa ini pada umumnya hanya dua generasi ke atas dan ke bawah yang dalam kehidupan sehari-hari masih berfungsi dalam hubungan kekerabatan. Sedangkan, generasi ketiga, baik ke atas maupun ke bawah hanya mempunyai tradisional dalam hubungan kekerabatan. Selain istilah-istilah yang ada kaitannya dengan generasi ada juga istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut seorang ego dalam kaitannya dengan sistem kekerabatan, seperti: ayah dengan sebutan: apa, bapa, pa; ibu dengan sebutan: ema, ma; kakak laki-laki dengan sebutan: kakang, kaka, akang atau kang; kakak perempuan dengan sebutan: ceuceu, euceu, ceu; kakak laki-laki ayah atau ibu sebutan: uwa atau wa; adik laki-laki ayah atau ibu dengan sebutan: mamang, emang atau mang; dan adik perempuan ayah atau ibu dengan sebutan: bibi, ibi,embi atau bi.

Perkawinan
Keluarga dalam suatu masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai kesatauan ekonomi, tetapi juga sosialisasi (pendidikan) dan meneruskan keturunan. Mengingat fungsinya yang demikian kompleks itu, maka pembentukan sebuah kelaurga mesti mengikuti adat-istiadat dan atau agama yang diacu oleh masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, sistem perkawinan nasyarakat sukubangsa yang satu dengan lainnya berbeda. Bahkan, dalam satu sukubangsa pun tidak sama persis karena faktor geografis (variasi geeografis). Ini bukan berarti bahwa sistem pekawinan yang dilakukan oleh masyarakat Cianjur secara keseluruhan berbeda dengan masyarakat Sunda lainnya. Dalam konteks ini proses perkawinan .yang dilakukan oleh masyarakat Cianjur hampir semua menunjukkan kesamaan dengan masyarakat Sunda lainnya, yaitu sebelum menentukan seseorang menjadi menantu, ada kegiatan penyelidikan yang dilakukan oleh kedua belah pihak (calon mertua). Kegiatan tersebut bertujuan untuk mendapatkan menantu yang baik. Calon menantu yang baik adalah yang sesuai dengan ungkapan “Lampu nyiar jodo kudu kakapuna”. Artinya, kalau mencari jodoh harus kepada orang yang sesuai dalam segalanya, baik rupa, kekayaan, maupun keturunannya. Ungkapan lain yang ada kaitannya dengan pencarian seorang menantu adalah “Lamun nyiar jodo kudu kanu sawaja sabeusi”. Artinya, mencari jodoh itu harus mencari yang sesuai dan cocok dalam segala hal (Harsojo, 1999: 319). Jika dalam penyelidikan itu calon menantu sesuai dengan yang diinginkan, maka pihak orang tua pemuda melakukan neundeun omong (mengutarakan semacam keinginan untuk menjadikan yang bersangkutan sebagai calon menantu). Meskipun demikian, pengamatan dan atau penyelidikan tetap berjalan ke tahap nyeureuhan (pelamaran). Tahap selanjutnya adalah masing-masing pihak mempersiapkan segala sesuatu yang berkenaan dengan upacara pernikahan. Setelah itu, orang tua laki-laki mengirim kabar kepada orang tua gadis mengenai seserahan. Seserahan itu sendiri biasanya dilakukan tiga hari sebelum upacara pernikahan. Setelah calon pengantin laki-laki diserahkan, pada prinsipnya segala sesuatu telah menjadi tanggungjawab orang tua perempuan. Satu hal yang mendapat perhatian orang banyak upacara pernikahan adalah ketika nyawer dan buka pintu karena disertai dengan dialog melalui bahasa puisi dan lagu. Dengan dilaluinya tahap demi tahap dalam proses perkawinan, maka terbentuklah sebuah keluarga.

Sistem Religi
Agama-agama besar yang ada di Indonesia, seperti: Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu, semuanya ada di daerah Cianjur. Namun demikian, agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Cianjur adalah agama Islam. Dan, mereka pada umumnya dapat dikategorikan sebagai santri (orang-orang yang patuh terhadap ajaran-ajaran Islam). Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari, bukan berarti bahwa mereka tidak lepas dari unsur-unsur non-Islam. Hal itu tercermin adanya kunjungan-kunjungan ke makam-makam suci sebagai tanda kaul atau untuk menyampaikan permohonan dan restu sebelum mengadakan sesuatu usaha, pesta atau perlawatan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Harsojo (1999) mengatakan bahwa kepercayaan kepada ceritera-ceritera mite dan ajaran-ajaran agama sering diliputi oleh kekuatan-kekuatan gaib. Upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran individu, atau yang berhubungan dengan kaul, atau mendirikan rumah, menanam padi, yang mengandung banyak unsur-unsur bukan Islam masih sering dilakukan. Semua itu terjadi karena batas antara unsur Islam dan bukan Islam sudah tidak disadari lagi. Unsur-unsur dari berbagai sumber itu sudah terintegrasikan menjadi satu dalam sistem kepercayaannya, dan telah ditanggapinya dengan emosi yang sama.

Aktivitas sistem religi (agama dan kepercayaan) yang paling nampak dalam kehidupan sehari-hari adalah pelaksanaan upacara. Dan, salah satu upacara yang menonjol adalah apa yang disebut sebagai slamatan. Untuk itu, tidak berlebihan jika Harsojo (1999) mengatakan bahwa upacara slamatan merupakan suatu upacara terpenting bagi masyarakat Sunda pada umumnya dan khususnya masyarakat Cianjur, terutama yang ada di pedesaan. Slamatan itu sendiri biasanya dilakukan pada hari Kamis malam (malam Jumat). Upacara ini biasanya dipimpin oleh modin seorang guru ngaji. Upacara yang diikuti oleh para tetangga ini diawali dengan mengucapkan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat yang sama. Isinya bergantung pada maksud pengadaannya. (pepeng)

                                                                                              Kampung Budaya Pandanwangi, Tempat Wisata dan Studi Budaya di Cianjur

CIANJURTODAY.COM – Kabupaten Cianjur dikenal dengan sebutan kota kecil penuh kenangan. Hal itu karena meski wlayah perkotaanya yang tak seluas kota- kota di sebelahnya. Namun luas keindahan alamnya lah yang sangat menghampar, di berbagai sudut daerah Kabupaten Cianjur ini.

Berbagai tempat- tempat hijau penyejuk mata tak sulit untuk kita temui, dengan sebagian besar tempatnyapun mudah dijangkau dan jaraknya tak begitu jauh dari pusat kota. Menjadikan kota ini tempat yang tepat untuk menghabiskan masa liburan atau bersantai memanjakan diri sendiri dari kesibukan sehari- hari.

Selain untuk merehatkan pikiran dari kesibukan sekolah, kerja, atau aktivitas rumah. Beraktivitas dan menikmati kegiatan ditempat yang terbuka dan sejuk sangat diperlukan, untuk memberikan energi baru dan kepuasan bagi diri.

Namun tidak sedikit orang memilih berlibur bukan hanya sekedar menghabiskan waktu luangnya dengan sia-sia dengan sensasi liburan biasa. Menikmati saat berlibur dan waktu luang dengan mencari dan merasakan hal baru, menjadi hal yang luar biasa dan harus dilakukan.

Maka di kota Cianjurlah tempat yang tepat untuk menikmati liburan dengan berbagai pilihan tempat wisata. Mulai dari tempat yang memiliki pemandangan dan oksigen terbaik, seperti Taman Raya Cibodas, Taman Bunga Nusantara, dan berbagai tempat terkenal lainnya

Atau bahkan tempat bersejarang yang tidak asing lagi di telinga, yaitu Situs Megalitikum Gunung Padang sebagai bahan studi dan pengkajian yang patut dikunjungi.

Sumber foto:
Instagram/@irinealfira

Namun bagaimana dengan menikmati berlibur sambil mencari hal- hal baru? Maka ada suatu tempat yang tidak boleh terlewatkan untuk dikunjungi.

Dimana Kampung Pandanwangi?

Kampung Budaya Padi Pandanwangi merupakan tempat wisata sekaligus edukasi budaya, dengan mengankat kearifan lokal yang dimiliki Cianjur. Kota Beras, menjadi julukan utama bagi Kota Cianjur sebagai penghasil beras tersohor. Kampung Budaya Padi Pandanwangi terletak di jalan Jambudipa, Mekarwangi, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur.

Suber foto:
cianjur.pojoksatu.id

Berjarak tak jauh dari pusat kota Cianjur, dengan memerlukan waktu 20 menit menggunakan sepeda motor. Luas lahan sekitar 12 hektar yang mweupakan area pesawahan padi Pandanwangi. Sudah pasti menyuguhkan pemandangan hijau atau kemunung indah rekahan padi dan Gunung Pangrango.

Memanjakan diri dengan suasana dan udara sejuk kampung yang masih asri. Dikenal dengan istilah orang –orang sunda, “tiis ceuli herang panon” maksudnya ketenangan terdengar ditelinga dan kedamaian terlihat oleh mata. Sebenarnya cocok juga untuk menenangkan hati dan fikiran, dari rutinitas yang mungkin kadang terasa sangat melelahkan.

Spot Foto

Kampung Budaya Padi Pandanwangi menjadi tepat yang banyak diminati sebagai spot foto oleh para pengunjung, dan bisa disebut tempat yang instagramable untuk yang hobi suafoto.

Sepeti di wajah utama Kampung Budaya ini kita akan disuguhi pijakan tangga untuk menuju tujuh euit atau lumbung padi, dengan beberapa bangunan adat disampinya. Menjadi salah satu sport utama untuk selfie dengan latar yang begitu estetis. Atau tempat berjalan yang seolah seperti jembatan yang berbentuk melingkar yang memberikan kesan nampak begitu indah, dan berbagai sudut lainnya yang tak kalah menarik.

Sember foto:
Instagram/@gitarusdinar

Pembangunan Kampung Budaya ini merupakan salah satu bentuk cara pengenalan kearifan lokal yang dimiliki Cianjur, dengan memperkenalkan beras pandanwangi kepada orang- orang secara luas. Dengan begitu pula mampu mengenalkan Cianjur namun dengan menjunjung khas yang dimiliki.

Julukan Cianjur Kota Beras

Beras pandanwangi merupakan salah satu varietas padi bulu dengan nasi yang dihasilkannya beraroma pandan, sehingga memiliki nama beras Pandanwangi. Kini beras ini menjadi salah satu khas yang dimilki Cianjur, dan menjadi alasan bermulanya Cianjur dikenal sebagai Kota Beras.

Terdapat beberapa bangunan dengan arsitektur yang masih tradisional dengan khas Cianjur, salah satunya merupakan balai pertemuan bagi para petani untuk mendiskusikan berbagai persoalan pertanian.

Tujuh leuit atau lumbung menjadi keunikan dan hal yang memiliki khas bagi masyarakat Cianjur sendiri. Selain sebagai tempat penyimpanan padi, tujung lumbung ini menjadi objek bangunan arsitektur yang paling menonjol.

Ada Apa Saja di Kampung Pandanwangi?

Di Kampung Budaya Padi Pandanwangi ini para pengunjung bukan hanya menikmati pemandangan saja, namun bisa melihat bahkan terjun secara langsung untuk mengetahui proses pengolahan Padi Pandanwangi.

Mulai dari penanaman sampai memanen, menjadi pembelajaran bagi setiap pengunjung yang datang. bukan hanya itu adanya museum tani menjadi penambah daya tarik dan pengetahuan bagi pengunjung.

Berbagai alat- alat pertanian yang dipakai dalam pengolahan sawah Padi Pandan wangi, dipajang dengan begitu rapih. Menjadi salah satu cara yang tepat untuk terus menyimpan kekayaan budaya dan kearifan lokal yang ada sehingga tetap bertahan dengan terus diabadikan. Salah satunya di museum tani ini. Karena dengan cara itulah masyarakat luar maupun dalam bisa terus mengenal dan mempertahankannya.

Selain itu, dalam menikmati liburan ditempat ini juga kita tidak perlu khawatir dengan pasilitas kepentingan umumnya, yang sebagian besar sudah terpenuhi. Mulai dari toilet dan masjidpun sudah tersedia, dan mambu dipergunakan dengan nyaman. Tak ada lagi alasan untuk tidak berkunjung dan menikmati Kampung Budaya Padi Pandanwangi ini.

Selain untuk berwisata kita juga bisa menambah wawasan pengetahuan kebudayaan. Jangan sampai kebudayaan yang kita miliki punah karena ketidak pedulian kita sendiri. Maka cobalah sering datangi tempat–tempat yang menyimpan sejarah kebudayaan sebagai bentuk kepedulian dan kecintaan kita terhadap budaya. Salah satunya Kampung Budaya Padi Pandangwangi sebagai tempat wisata dan edukasi budaya yang wajib dikunjungi.(*)

Penulis: Siti Nurlela

Sejarah Bendungan Lama dan Asal usul Nama Pamarayan

Penulis : Muhammad Nasheh Ulwan on Rabu, 27 Maret 2013 | 08.24

Pada zaman dahulu tepatnya pada tahun 1048 didaerah ini dipimpin oleh  seorang raja yang bernama  Raja Wel Wina, sebelumnya di daerah ini telah di bangun jaringan-jaringan irigasi kecil sederhana dan Irigasi tertua adalah yang di bangun oleh Sultan Ageng Tirtayasa pada sekitar abad ke 17 yang di kenal sebagai kanal sultan. Namun ketika Belanda menjajah bagian barat Indonesia tepatnya didaerah Banten sampai ke wilayah Pamarayan, awalnya colonial  Belanda hanya ingin mengambil rempah-rempah tetapi lama-kelamaan orang Belanda berinisiatif membuat jembatan untuk pengairan di lahan pertanian dan untuk mempermudah mobilitas mereka dalam mengambil rempah-rempah didaerah tersebut. Jembatan tersebut dibangun tahun 1901 faktanya tertulis pada Almanak yang tertera pada salah satu pintu air. Jembatan ini biasa disebut dengan nama Jembatan Putih atau Bendung Pamarayan Lama.
Bendung Pamarayan Lama mempunyai beberapa bagian bangunan antara lain saluran irigasi sepanjang ratusan meter yang dilengkapi dengan 10 pintu air berukuran raksasa. Diameter setiap pintu hampir 10 meter lebih yang merupakan bangunan utama. Selain itu Bendung Pamarayan Lama juga memiliki dua menara yang terletak di sisi kanan dan kiri bendungan.
Untuk menggerakkan setiap pintu air yang dibuat dari baja tersebut, pemerintah Belanda menggunakan rantai mirip rantai motor yang berukuran besar. Sepuluh rantai dikaitkan pada roda gigi elektrik yang terletak di bagian atas bendungan. Roda-roda gigi yang berfungsi untuk menggerakkan pintu air berjumlah puluhan di dalam 30 bok  tipe 1,2 dan 3 (berukuran sedang) dan  roda gigi tipe 4 dan 5 (berukuran besar). Setidaknya ada 20 as kopel berdiameter sekitar 7 centimeter dan panjang 1,5 meter sebagai penghubung roda gigi di setiap pintu air.
Pada saat itu yang mengerjakan jembatan tersebut adalah orang-orang pribumi dan para pekerja dari daerah jawa  yang dipekerjakan oleh orang belanda. Proyek bendungan  ini selesai dikerjakan pada tahun 1914 dan air mulai disalurkan pada tahun 1918, disamping bendungan ini terdapat bangunan  yang di gunakan oleh kolonial belanda untuk MEMBAYAR upah para pekerja atau biasa di sebut dengan tempat ” PAMAYARAN ”  dalam bahasa Sunda karena  bendungan ini di bangun di daerah yang kebanyakan penduduknya menggunakan bahasa  sunda,
 Warga pribumi hanya dibayar atau mendapat imbalan atas pekerjaannya hanya dengan dibayar dengan uang logam Wel Wina dengan cara pakai takeran tidak diperhitungkan dengan rinci, entah takeran uang ataupun takeran jagung. Pokoknya ukuran hanya 1 (satu)  takeran. Mulai pada saat itu munculah keributan antara warga pribumi yang meributkan imbalan yang diberikan oleh Belanda. Semakin lama semakin berlanjut keributan tersebut, dan pada akhirnya daerah tersebut menjadi sebutan PAMAYARAN para pekerja jembatan pada masa penjajahan colonial Belanda. .Dengan semangat juang dan kesatuan dari warga Indonesia akhirnya Bangsa Indonesia berhasil merebut  KE-MERDEKAAN¬-NYA dari tangan penjajahan Belanda.
Kini dengan perbendaharaan kata yang semakin banyak dan bahasa yang semakin  berkembang sebutan PAMAYARAN  berubah menjadi PAMARAYAN yang kini menjadi nama sebuah kecamatan di Kabupaten Serang Provinsi BANTEN.

Situs Gunung Padang, Peninggalan Megalitikum dari Cianjur

Akses jalan sudah dibangun dengan baik. Pengunjung bisa mencapai Gunung Padang dengan menyusuri anak tangga
 Akses jalan sudah dibangun dengan baik. Pengunjung bisa mencapai Gunung Padang dengan menyusuri anak taCianjur      punya tempat wisata prasejarah peninggalan megalitikum. Terletak di Desa Karyamukti, Gunung Padang begitu unik dengan sisa bangunan berbentuk batu persegi. Gunung Padang adalah salah satu destinasi unik yang ada di Cianjur. Tempat ini merupakan situs sejarah dari zaman batu. Bahkan usia tempat ini disebut-sebut lebih tua dari piramida Mesir. Namun, belum ada penelitian lebih lanjut.


Di area seluas 3 hektar ini kamu bisa menjumpai hamparan batuan berbentuk unik. Batuan ini memiliki bentuk seperti balok kayu atau persegi. Beberapa batuan terlihat tersusun membentuk beberapa bangunan.


Komplek situs ini berbentuk punden berundak serta dikelilingi lembah yang cukup dalam. Sehingga menjadikan tempat ini terlihat asri dan cantik.

Untuk mencapai tempat ini kamu bisa menaiki anak tangga atau bisa menyewa ojek. Di tempat ini juga tersedia warung penjual makanan dan minuman.

      WISATA ZIARAH MAMA GENTUR

Kampung Gentur terkenal dengan sarat nuansa kehidupan yang serba Islami. Di Kampung Gentur ada beberapa Pondok Pesantren NU salah satu yang terkenalnya adalah yang oleh masyarakat setempat disebut dengan pesantren Picung. Ulama pesantren Picung ini yaitu mama Gentur, dengan nama lengkap Kiai Haji Abdullah bin Nuh adalah seorang ulama terkenal, sastrawan, penulis, pendidik, dan pejuang.  Sejak kecil Abdullah bin Nuh memperoleh pendidikan agama Islam dari ayahnya, KH. Raden Nuh, seorang ulama di kota Cianjur. Di samping itu, ia masuk sekolah I’anat at-Thalib al-Miskin yang didirikan oleh ayahnya. Dengan pendidikan tersebut ia mampu berbicara dalam bahasa Arab. Pada usia yang relatif muda ia sudah menghafal kitab Nahwu Alfiah (nahwu/tata bahasa berbait seribu) di luar kepala. ia juga mempelajari sendiri bahasa Inggris.

Pada masa mudanya Abdullah bin Nuh aktif mengajar di Hadramaut School, sekaligus menjadi redaktur Hadramaut, majalah mingguan edisi bahasa Arab di Surabaya (1922-1926). Karena kemampuannya dalam berbahasa Arab, pada tahun 1926 ia dikirim belajar ke Fakultas Syariah Universitas al-Azhar (Cairo) selama dua tahun. Sekembali dari Cairo ia mengajar di Cianjur dan Bogor (1928-1943).

unduhan

Ketika perjuangan kemerdekaan Indonesia memuncak, Abdullah bin Nuh terjun langsung ke kancah perjuangan. Dia menjadi anggota Pembela Tanah Air atau Peta (1943-1945) untuk wilayah Cianjur, Sukabumi dan Bogor. Sekitar tahun 1945-1946 dia memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tahun 1948-1950 dia menjadi anggota Komite Nasional Pusat (KNIP) di Yogyakarta, di samping sebagai kepala seksi siaran berbahasa Arab pada Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta dan dosen luar biasa pada Universitas Islam Indonesia (UII).

Abdullah bin Nuh aktif melaksanakan kegiatan dakwah Islamiah dan mendidik kader-kader ulama. Dia juga menyempatkan diri untuk menghadiri pertemuan dan seminar-seminar tentang Islam di beberapa negara, antara lain di Arab Saudi, Yordania, India, Irak, Iran, Australia, Thailan, Singapura, dan Malaysia. Ia juga ikut serta dalam Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) sebagai anggota panitia dan juru penerang yang terampil dan dinamis.

Keistimewaan Abdullah bin Nuh sebagai ulama adalah kemampuannya menciptakan syair Arab dalam berbagai bentuk dan tujuan, seperti syair pujian dan ratapan. Syair-syairnya telah dihimpun dalam Diwan Ibn Nuh, berupa qasidah (118 qasidah) yang terdiri dari 2.731 bait. Semuanya digubah dalam bahasa Arab fusha(fasih) yang bernilai tinggi.

Karya tulis Abdullah bin Nuh yang terkenal adalah Kamus Indonesia-Arab-Inggris yang disusun bersama Oemar Bakry. Karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab antara lain adalah al-Alam al-Islami (Dunia Islam), Fi Zilal al-Ka’bah al-Bait al-Haram(Di Bawah Lindungan Ka’bah), La Taifiyata fi al-Islam (Tidak Ada Kesukuan Dalam Islam), Ana Muslim Sunniyyun Syafi’iyyun (Saya Seorang Islam Sunni Pengikut Syafi’i), Mu’allimu al-‘Arabi (Guru Bahasa Arab), dan al-Lu’lu’ al-Mansur (Permata yang bertebaran). Adapun karangannya yang ditulis dalam bahasa Indonesia adalah Cinta dan Bahagia, Zakat Modern, Keutamaan Keluarga Rasulullah Saw., dan Sejarah Islam di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten serta sebuah buku berbahasa Sunda Lenyepaneun (Bahan Telaah Mendalam). Adapun karya terjemahan dari kitab Imam al-Ghazali adalah Minhaj al-Abidin (Jalan Bagi Ahli Ibadah), Al-Munqiz Min al-Dalal (Pembebas dari Kesesatan), dan al-Mustafa li ManLahu Ilm al-Ushul(Penjernihan bagi Orang yang Memiliki Pengetahuan Ushul).

Mengutip sejarah Mama Gentur dari link:

http://sundaislam.wordpress.com/2008/02/01/kiai-haji-abdullah-bin-nuh/

                  Keajaiban Banten ( lV ) Dayang Pepunden Di Bumi Keramat

Banten identik dengan serba-serbi kesaktian, mulai dari Debus sampai hal-hal berbau keramat lainnya. Seringkali karena ada image ini, jika ada seseorang memperkenalkan diri sebagai “wong Banten” maka terlintas dalam benak orang lain yang mendengarnya agar tidak macam-macam terhadap orang Banten.

Image Banten sebagai bumi Kramat nan angker tak dapat dipisahkan dari kepercayaan masyarakat bahwa Banten memiliki Danyang Pepunden yang memancarkan Nyoni. Danyang Pepunden merupakan semacam makhluk hasul yang “bahu rekso” atau menjaga bumi dan isinya. Sedangkan Nyoni ialah pancaran kekuatan dan kewibawaan. Ada kepercayaan bahwa bumi yang telah ditinggalkan Danyang Pepunden-nya maka sirna pula Nyoni-nya, seperti halnya rumah yang tinggal pergi penghuninya.

Banten, merujuk keterangan dalam naskah “Sejarah Sultan Maulana Hasanuddin Banten” yang ditulis pada tahun 1342 H., diisi banyak Danyang Pepunden yang sakti.
Di penutup cerita perjalanan Maulana Hasanuddin, disebutkan nama-nama Danyang Pepunden bumi Banten, sebagaimana berikut:

“Penjaga kali Karangantu bernama Ratu Jaya Kulebar. Penjaga muara Karangantu bernama Ratu Lingga Buana. Penjaga alun-alun Surosowan bernama Ratu Jalalan. Penjaga Pancaniti bernama Ratu Langkawis. Penjaga dalam kota praja bernama Ratu Lingga Paksa. Penjaga seluruh wilayah Banten bernama Ratu Langlang Buana. Penunggu sungai Kali Banten bernama Ratu Uyut Nyatu. Penunggu hulu sungai Kali Banten bernama Ratu Lingga Para.”

Penyebutan Danyang Papunden bumi Banten dalam naskah tersebut, mengikis anggapan bahwa Banten menganut puritanisme Islam. Fakta ini sekaligus menolak apa yang dilontarkan Christiaan Snouck Hurgronje, bahwa salah satu alasan Banten memusuhi raja-raja Jawa karena anggapan sinkritisme Islam masyarakat Jawa sama dengan penganut agama berhala. Padahal, Banten juga menganut sinkritisme bukan puritanisme Islam.

Justru adanya kepercayaan Danyang Pepunden membuktikan kebudayaan Banten sebagai bagian tak terpisahkan cultur Jawa. Dalam kepercayaan orang Jawa, tidak ada sejengkal tanah di pulau Jawa yang tak memiliki Danyang Pepunden. Kepercayaan ini bukan praktek syirik melainkan menjadi paradigma panteisme dalam sufisme Islam. Hal ini juga yang melatarbelakangi kepercayaan masyarakat Banten tentang orang suci.

Orang-orang suci dipercayai dapat berkomunikasi dengan hal-hal gaib. Mereka adalah kiai yang sudah sampai maqam kewalian. Orang Banten sangat menghormati mereka, termasuk jawara sekalipun. Bahkan di Banten terdapat simbol golok-tasbih yang menandakan hubungan erat antara orang-orang saksi dengan kiai yang dianggap wali. Kondisi inilah yang membuat Banten disegani lawan.

Termasuk raja-raja Jawa segan dengan kesultanan Banten, sehingga dalam sejarah tercatat Banten belum pernah ditaklukkan Kesultanan Mataram. Bahkan Banten sempat menguasai Kesultanan Cirebon dan Sumedang Larang, sampai Banten diberi kuasa membawahi wilayah sepanjang Sungai Citarum hingga Cianjur. Hal ini terjadi setelah kesultanan Mataram sepenuhnya menguasai Jawa Barat, minus Kesultanan Banten.

Pada tahun 1651, dalam catatan H.J. de Graaf, raja Mataram Sunan Amangkurat I pernah menunjuk Pangeran Purbaya untuk menyiapkan bala tentaranya dan seluruh armada perang di pelabuhan Bonang Demak. Armada perang ini sudah siap dan tinggal berangkat untuk menyerang Kesultanan Banten (pada masa Sultan Abdul Mafakhir Abdul Kadir Kenari).

Kesultanan Banten sendiri pada waktu itu dalam kondisi belum siap perang. Tapi anehnya, pada satu malam sehari sebelum penyerangan Sultan Mataram bermimpi sakit bisul: Ada yang menyebut Sunan Amangkurat I betul terkena bisul.

Entah kenapa apa yang dialami sultan Mataram ini dianggap firasat buruk jika menyerang Banten (?) Apalagi Sunan Amangkurat I merasakan ada kejanggalan tatkala menguji meriam-meriam yang dipersiapkan untuk penyerangan ke Banten. Meriam-meriam itu tak bisa melontarkan mesiu. Bahkan menurut catatan H.J. de Graaf, ada mesiu yang dinyalakan justru berbalik arah dan meledak persis di depan pintu gerbang Kesultanan Mataram.

Kejadian ini dirasakan aneh oleh Sunan Amangkurat I sehingga rencana penyerangan ke Banten dibatalkan. Raja Mataram itu memandang seperti ada kekuatan gaib yang melindungi tanah Banten. Mungkin yang dimaksud di Banten terdapat Nyoni dari para Danyang Pepunden yang menjadikan Banten tampak angung dan terhormat. Wallahu a’lam. (RM)

4 Makam kramat di Banten yang sering dibanjiri warga

Rabu, 24 Juni 2015 05:15 Reporter : Desi Aditia Ningrum
4 Makam kramat di Banten yang sering dibanjiri warga Masjid Agung Banten. ©wisatajawa.com

Merdeka.com - Banten merupakan salah satu provinsi yang terkenal dengan wisata religinya. Sebab, di sana banyak tempat-tempat ziarah yang sering didatangi oleh warga.

Pada moment tertentu ribuan warga dari pelosok tanah air berdatangan untuk wisata religi atau pun sekadar mengunjungi peninggalan sejarah para ulama Banten.

Makam-makam ulama Banten yang dianggap kramat salah satu menjadi daya tarik pengunjung. Selain itu, lokasi yang unik juga menambah keseruan saat akan menginjakkan kaki di tanah santri tersebut.

Dari sekian banyak makam, ada beberapa yang sudah menjadi 'kewajiban' pengunjung ketika mendatangi Banten. Berikut empat makam di Banten yang sering dibanjiri pengunjung:

1 dari 4 halaman

Gunung Santri makam Syekh Muhammad Sholeh

makam syekh muhammad sholeh rev2tempat ziarah gunung santri banten. ©blogspot.com

Gunung santri merupakan salah satu bukit dan nama kampung yang ada di Desa Bojonegara, Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang. Di puncak gunungnya terdapat makam Syekh Muhammad Sholeh.

Syekh Muhammad Sholeh adalah Santri dari Sunan Ampel, setelah menimba ilmu beliau menemui Sultan Syarif Hidayatullah atau lebih di kenal dengan gelar Sunan Gunung Jati (ayahanda dari Sultan Hasanudin) pada masa itu penguasa Cirebon.

Syekh Muhamad Sholeh bisa menyerupai bentuk ayam jago seperti halnya ayam jago biasa. Hal ini terjadi karena kekuasaan Allah SWT. Karena cerita tersebut banyak warga yang datang untuk melihat langsung makam Syekh Muhamad Sholeh yang bisa menyerupai ayam jago itu.

Beliau Wafat pada usia 76 Tahun dan beliau berpesan kepada santrinya jika dia wafat untuk dimakamkan di Gunung Santri.

Jarak tempuh dari kaki bukit menuju puncak bejarak 500 M hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Jalan menuju makam Waliyullah tersebut mencapai kemiringan 70-75 Derajat sehingga membutuhkan stamina yang prima untuk mencapai tujuan jika akan berziarah.

2 dari 4 halaman

Cikadueun makam Syekh Maulana Mansyuruddin

syekh maulana mansyuruddin rev2tempat ziarah di cikaduen. ©bantenprov.go.id

Salah satu tempat ziarah yang sering dikunjungi warga berada di daerah Cikadueun, Pandeglang Banten. Di sana terdapat salah satu makam wali yakni Syekh Maulana Mansyuruddin.

Syekh Maulana Mansyuruddin dikenal dengan nama Sultan Haji, beliau adalah putra Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa (raja Banten ke 6). Yang menarik dari cerita Syekh Maulana Mansyuruddin ketika pada suatu hari Syekh Maulana Mansyur menyebarkan syariah agama Islam di daerah selatan ke pesisir laut.

Di dalam perjalanannya di tengah hutan Pakuwon Mantiung Sultan Maulana Mansyuruddin beristirahat di bawah pohon waru sambil bersandar, tiba-tiba pohon tersebut menjongkok seperti seorang manusia yang menghormati, maka sampai saat ini pohon waru itu tidak ada yang lurus.

Setelah sekian lama menyiarkan Islam ke berbagai daerah di Banten dan sekitarnya, lalu Syekh Maulana Manyuruddin pulang ke Cikadueun. Akhirnya Syekh Maulana Mansyuruddin meninggal dunia pada tahun 1672 M dan di makamkan di Cikadueun Pandeglang Banten. Hingga kini makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat dan dikeramatkan.

3 dari 4 halaman

Caringin makam KH Asnawi

kh asnawi rev2tempat ziarah caringin banten. ©blog.kiyudi.com

Kampung Caringin yang berada di kecamatan Labuan Pandegalang Banten terkenal pesona Laut yang sangat mempesona. Caringin diambil dari kata beringin yang artinya pohon teduh yang rindang. Di sana terdapat makam seorang ulama pejuang bernama KH Asnawi yang orang kampung biasa memanggil dengan sebutan Mama Asnawi.

KH Asnawi lahir di Kampung Caringin sekitar tahun 1850 M, ayah beliau bernama Abdurrahman dan ibunya bernama Ratu Sabi'ah dan merupakan keturunan ke 17 dari Sultan Ageng Mataram atau Raden Fattah.

Banten yang terkenal dengan jawara-jawaranya yang memiliki ilmu Kanuragan dan dahulu terkenal sangat sadis dapat ditaklukkan berkat kegigihan dan perjuangan KH Asnawi. Beliau juga terkenal sebagai Ulama dan Jawara yang sakti yang sangat disegani oleh penjajah Belanda.

Tahun 1937 KH Asnawi berpulang ke rahmtulloh dan meninggalkan 23 anak dari lima Istri (Hj Ageng Tuti halimah, Hj sarban, Hj Syarifah, Nyai Salfah dan Nyai Nafi’ah) dan di makamkan di Masjid Salfiah Caringin.

Hingga kini Masjid Salafiah Caringin dan makam beliau tak pernah sepi dari para peziarah baik dari sekitar Banten maupun dari berbagai daerah di Tanah air. Banyak pengalaman menarik dari peziarah yang melakukan i'tikaf di masjid tersebut seperti yang diungkap oleh salah seorang jamaah sewaktu melakukan i'tikaf terlihat pancaran cahaya memenuhi ruangan Masjid yang berusia hampir 200 tahun tersebut.

4 dari 4 halaman

Makam Sultan Maulana Hasanuddin Banten

maulana hasanuddin banten rev2Masjid Agung Banten. ©wisatajawa.com

Jika berkunjung ke Banten, tidak akan lengkap rasanya tanpa mengunjungi komplek makam para sultan Banten. Makam-makam tersebut berada di Masjid Agung Banten, seperti makam Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Abdul Mufachir Muhammad Aliyudin, dan lain-lain. Komplek makam ini merupakan paling terkenal nomor satu dari tempat ziarah yang.

Sebab salah satu Sultan yaitu Sultan Maulana Hasanuddin merupakan orang yang paling berpengaruh dalam penyebaran Islam di Banten.

Masjid Agung Banten terletak di sebelah barat alun-alun Banten, di atas lahan seluas 0,13 hektar. Didirikan pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin pada tahun 1566, atau tanggal 5 Zulhijah 966 H dilanjutkan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf.

Bangunan induk masjid ini berdenah segi empat dengan atap bertingkat bersusun 5 atau dikenal dengan istilah atap tumpang. Tiga tingkat yang teratas sama runcingnya. Terdapat menara yang tingginya lebih kurang 23 meter bentuknya seperti mercusuar, pada zaman dulu digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan dan sebagai menara pandang ke lepas pantai.

Tiyamah (Paviliun) merupakan bangunan tambahan yang terletak di selatan masjid, berbentuk empat persegi panjang dan bertingkat, pada masanya digunakan sebagai tempat bermusyawarah dan berdiskusi mengenai keagamaan.

                                                Makam Panglima Banten 

Selain Pulau Cangkir, Kabupaten Tangerang masih memiliki destinasi wisata ziarah lain yaitu Kramat Solear. Tempat yang juga banyak dikunjungi oleh masyarakat luar Tangerang tersebut berlokasi di Kecamatan Solear. Jaraknya sekitar 17 kilometer dari pusat kabupaten.

Seperti umumnya tempat ziarah lain, Kramat Solear dijaga oleh seorang juru kunci. Berdasarkan penuturannya, tempat yang juga dikenal dengan nama Kramat Tigaraksa itu sudah ada sejak abad ke-16 tepatnya tahun 1552. Kramat Tigaraksa sering digunakan oleh para wali untuk mengadakan pertemuan. Pertemuan biasanya diadakan saat para penyebar agama tersebut melakukan perjalanan dari Cirebon ke Banten.

4 kramat solearDi kramat Solear juga terdapat makam sahabat para wali yaitu Syekh Mas Massad. Beliau merupakan panglima tentara Islam yang ditugaskan oleh Sultan Banten untuk menyebarkan agama di daerah Tigaraksa. Ketika itu, Tigaraksa dikuasai oleh tokoh masyarakat bernama Pangeran Jaya Perkasa alias Mas Laeng. Ia adalah patih dari Kerajaan Pajajaran. Dalam pertempuran melawan Syeh Mas Massad, Mas Laeng dibantu oleh Ki Seteng. Pertempuran selalu berakhir imbang dan ketiganya memutuskan untuk berdamai. Perdamaian tiga tokoh besar tersebut mengilhami nama ‘Tigaraksa’ yang berarti tiga orang yang memelihara perdamaian.

Kramat Solear merupakan area yang ditumbuhi banyak pepohonan. Makam Syekh Mas Massad berada di bawah pohon besar yang konon merupakan pohon paling tua di sana. Di kawasan Kramat Tigaraksa terdapat banyak kera. Menurut penuturan juru kunci, jumlahnya mencapai 600 ekor dan terbagi menjadi dua kelompok. Kabarnya setiap bulan Maulud kedua kelompok kera akan berperang memperebutkan wilayah. Atraksi kera juga dapat disaksikan pada peringatan kemerdekaan. Biasanya diadakan lomba panjat pinang kera dengan hadiah makanan kesukaan si hewan.

4 monyet kramat solearSelain wisata ziarah, Kramat Solear juga menawarkan pemandangan desa petani. Daerah dengan lahan seluas 4 hektar tersebut memang dimanfaatkan warga sebagai ladang dan sawah. Pemandangan hijau dan asri akan menemani pengunjung sebelum sampai area makam.

Bila ingin berkunjung ke Kramat Solear sebaiknya Anda menggunakan kendaraan pribadi. Dari Jakarta, ikuti Jalan Tol Jakarta-Tengerang dan selanjutnya masuk ke Jalan Tol Tangerang-Merak. Setelah keluar dari tol masuk ke Jalan Raya Serang. Dengan menyusuri jalan tersebut Anda akan menjumpai pertigaan. Di sini silakan belok kiri untuk menuju Kecamatan Solear tempat wisata ziarah berada.

Sejarah Unik Lampegan, Terowongan Kereta Tertua di Indonesia Berdiri Sejak 1882

CP name
Merdeka.com
Upload Date & Time

                Terowongan Lampegan Cianjur. Wikipedia ©2020 Merdeka.com
Jalan terowongan ini memiliki panjang 686 meter, dan membelah perbukitan di kawasan Desa Cimenteng, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.
Untuk menunjang perekonomian di Jawa Barat pemerintah Hindia Belanda menciptakan sebuah inovasi pertama di Indonesia, yaitu sebuah terowongan. Jalan terowongan ini memiliki panjang 686 meter, dan membelah perbukitan di kawasan Desa Cimenteng, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.
Dilansir dari laman sejarah Kereta Api Indonesia (PT. KAI), proses pembangunan terowongan tersebut terbilang sulit. Hal itu disebabkan, karena pihak Hindia Belanda harus melubangi bukit di wilayah itu dengan peralatan penggalian dan pengeboman yang sederhana.
Berikut sejarah terowongan kereta api pertama di Indonesia yang unik dan sudah berusia ratusan tahun.

Filosofis Nama Lampegan

Wikipedia ©2020 Merdeka.com
Di balik penampilannya yang usang, terowongan Lampegan tetap kokoh berdiri. Ternyata terowongan yang berada di jalur penghubung kereta api antara Sukabumi-Cianjur ini memiliki makna nama dan makna unik.
Seperti yang dilansir dari kabarpenumpang.com, nama Lampegan sendiri berasal dari kalimat yang disebutkan oleh mandor proyek. Mandor tersebut seorang warga Belanda, dan saat memantau para pekerja, ia menyebut kata “Lamp Pegang… Lamp Pegang”. Terdengar samar di telinga warga menjadi “Lampegan… Lampegan”.
Versi kedua, menyebutkan jika nama terowongan termahsyur di Pulau Jawa pada masanya itu, berasal dari kalimat yang diucapkan oleh masinis kereta yang hendak memasuki terowongan ini dan selalu menyebutkan sandi “Lampean.. Lampean” pada asistennya.
Kata itu berarti menyalakan lampu, sebagai penerangan di dalam terowongan yang gelap.

Misteri Nyai Sadea

Wikipedia ©2020 Merdeka.com
Selain memiliki filosofis nama yang unik, kisah mistis juga identik dengan terowongan ini. Historia.id menyebut, jika pada saat peresmian di tahun 1882 Pemerintah Hindia Belanda berupaya mengadakan pesta. Peresmian itu dihadiri oleh orang-orang berpengaruh di masa Kolonial Belanda serta beberapa masyarakat setempat.
Qadim (59), salah seorang warga setempat menceritakan, dalam rangka menghibur para pekerja dan pejabat setempat pasca peresmian pihak Jawatan Kereta Api Belanda (sebutan untuk Perusahaan Lokal Kereta Api Indonesia) mengundang Nyi Sadea. Ia adalah seorang penari Ronggeng terkenal di kawasan Selatan Jawa Barat.
Namun, begitu acara selesai, Nyai Sadea hilang entah ke mana. Mitos menyebut, Nyai Sadea dijadikan tumbal pembangunan terowongan itu.

Saksi Bisu Masa Penjajahan

Wikipedia ©2020 Merdeka.com
Lokasi yang berbukit dan berada di tengah hutan, membuat terowongan Lampegan dijadikan tempat strategis untuk melawan dan bersembunyi dari penjajah.
Bahkan, disebutkan jika Lampegan merupakan lokasi ideal untuk ajang duel mortir guna menakut-nakuti serdadu Belanda. Terowongan ini menjadi saksi bisu zaman penjajahan dan perjuangan para pejuang bangsa.

Dipangkas Jadi 415 Meter

Di awal tahun 2000, terowongan ini mengalami kerusakan karena rembesan air dan longsoran tanah di mulut terowongan. Kerusakan ini berujung pada kebijakan dinas setempat untuk memangkas terowongan. Pemangkasan ini dimaksudkan agar terowongan masih bisa dilewati dan menghindari kontur tanah yang rawan.
Saat ini, pasca di renovasi di tahun 2001, panjang terowongan tersebut menjadi 415 meter. Walau usianya sudah tua, Lampegan masih digunakan sebagai jalur kereta api. Sudah pernah lewat terowongan ini?




  • Makam Syekh Abdul Ghofur

    Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

    Makam Syekh Abdul Ghofur adalah makam seorang penyiar agama Islam terkenal di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Makam ini terletak 1 km dari Tapal Kuda di desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur. Makam Syekh Abdul Ghofur dikenal sebagai Jongor oleh penduduk setempat.

    Lokasi

    Lokasi Makam Syekh Abdul Ghofur yaitu di atas sebuah bukit kecil di tengah persawahan di Kampung Cijedil, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur. Akses jalan menuju makam bisa ditempuh dengan mobil. Dari jalan raya Cianjur-Cipanas atau km 7, kemudian masuk ke dalam gang sejauh 600 meter. Jarak dari kantor desa Cijedil sekitar 1,5 km. dan dari pusat kota Cianjur sekitar 7,6 km.

    Pengunjung

    Makam Syekh Abdul Ghofur salah satu makam yang sangat ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah. Tidak hanya warga Cianjur, warga luar kota sering kali berdatangan untuk memanjatkan doa di makam beliau. Menurut pengakuan juru kunci makam, pengunjung dari luar negeri pun pernah datang misalnya dari Brunei Darussalam. "Saat ini sudah lebih dari 400 tahun pemakaman beliau di sini dan tidak pernah sepi dari peziarah, bukan berasal dari Cianjur saja melainkan sudah tembus ke luar kota dan luar negeri seperti Brunei Darussalam ” Ujar juru kunci makam yang juga merupakan keturunannya.[1] Peziarah biasanya ramai di malam Rabu dan malam Jumat.

    Sejarah

    Syekh Abdul Ghofur merupakan leluhur kampung Cijedil yang ikut menyiarkan Agama Islam di wilayah Kabupaten Cianjur pada tahun 1600 M, sejarah ini bisa di lihat dari peninggalan barang-barang sejarah berupa pakaian,uang dan barang pribadi lainya.

    Dikutip dari Cianjurkab.go.id, Informasi yang di dapatkan dari pihak Pemerintahan Desa Cijedil, Syekh Abdul Ghofur masih merupakan keluarga R. Aria Wira Tanu Bin Aria Wangsa Goparana atau Dalem Cikundul.[2] Syekh Abdul Ghofur merupakan salah satu penyebar agama islam di Cianjur sebelum Eyang Dalem Cikundul atau bisa dibilang sebagai guru dari Eyang Dalem Cikundul saat itu, beliau berasal dari Banten (Ibu) dan Cirebon (Bapak) atau adik kakak dengan Syekh Sultan Hasanudin Banten namun beda ibu. Syekh Sultan Hasanudin merupakan putera dari Sultan Syarif Hidayatullah atau dikenal dengan Sunan Gunung Jati Cirebon.[1]Jadi Syekh Abdul Ghofur adalah putera dari Sunan Gunung Jati Cirebon dan merupakan saudara tiri dari Syekh Sultan Hasanuddin Banten.

    Meskipun Syekh Abdul Ghofur adalah penyiar terkenal di Cianjur dan bahkan disebut-sebut sebagai salah satu Wali Songo yang tidak diketahui, namun juru kunci makam menjelaskan agar sebaiknya Syekh Abdul Ghofur tidak disebut sebagai Wali, melainkan sebutan Solihin. "Kita sebaiknya jangan menyebut beliau sebagai wali Allah, cukup sebagai solihin saja karena dalam beberapa keterangan bahwa tidak ada yang tahu wali kecuali wali lagi, kita kan bukan wali jadi kalau kita bilang seseorang itu wali Allah tandanya kita takabur dan tidak dibenarkan. Yang jelas, bila kita mengagungkan orang soleh dengan mendoakan dan menziarahinya tidak akan putus dari keberkahan dalam bidang apapun baik bidang dunia maupun akhirat karena orang soleh merupakan orang bertaqwa dan beriman serta sudah dekat dengan sang Khalik Allah SWT." Jelas juru kunci Makam Syekh Ghofur. [3]

    Ritual

    Konon makam Syekh Abdul Ghofur merupakan makam pengampun sesuai dengan namanya yang diambil dari salah satu Asmaul Husna bahasa Arab: "Ghofur" yang artinya Maha Pengampun. Jadi, tidak sedikit yang menyebut bahwa ketika peziarah datang ke Makam Syekh Abdul Ghofur maka akan diluruhkan segala dosa-dosanya. Selain itu, barang peninggalan Syekh Abdul Ghofur masih tersimpan dengan rapih di rumah juru kunci. Konon peninggalan beliau berupa uang, sisir, baju, keris, dan sebagainya disimpan dalam satu peti. Peti tersebut hanya boleh dibuka pada saat perayaan Maulid Nabi dan disaksikan oleh seluruh peziarah dan warga kampung. Yang menarik, dalam ritual tersebut yang setahun sekali, warna baju peninggalan beliau selalu berubah warna dan perubahan warna tersebut dipercaya sebagai tanda yang menggambarkan kondisi desa Cijedil. Warna baju merah artinya Cijedil dalam keadaan susah dan bahaya, warna putih menandakan damai, serta pernah pula berwarna abu-abu. Selain itu, benda-benda peninggalan beliau yang disimpan sering hilang atau pergi sendiri lalu kembali utuh lagi. Untuk itu, tidak sembarang olrang boleh melihat peninggalan Syekh Abdul Ghofur.

    Status Kepemerintahan

    Situs Makam ini berstatus Milik Lembaga/Instansi Swasta (non-Pemerintahan) yang dikelola oleh warga sekitar dengan nama pengelola yang terdaftar yaitu Oji Fahruroji. Dikutip dari dapobud.kemdikbud.go.id tentang objek benda, Situs Makam Syeh Abdul Ghofur Jongor terdartar dengan nomor ID OBPO2016052500032.[4]

    Batas Situs adalah sebagai berikut:

    • Barat: Sawah milik Umbon/Damini
    • Timur: Sawah milik warga
    • Utara: Tanah milik Basuni
    • Selatan: Sawah milik Marif

    Untuk masuk ke dalam situ makam ini tidak dikenakan biaya atau gratis.

    Pranala Luar

    Situs Resmi Kemdikbud https://dapobud.kemdikbud.go.id/objek-benda/5bfc133b4abcfb04b4a6d550/situs-makam-syeh-abdul-ghofur-jongor

    Situs Resmi cianjur.go.id https://simparda.cianjurkab.go.id/wisata-lengkap/makam-syeih-gofur/selengkapnya.html

    Referensi

    1.    ^ Rusdan, Dadan (2017-06-21). "Wisata ziarah makam Syekh Abdul Gofur Jongor Cianjur". Secianjur.com. Diakses tanggal 2019-05-15.

    2.    ^ "Dinas Pariwisata, Kepemudaan dan Olah Raga". simparda.cianjurkab.go.id. Diakses tanggal 2019-05-15.

    3.    ^ "Dinas Pariwisata, Kepemudaan dan Olah Raga". simparda.cianjurkab.go.id. Diakses tanggal 2019-05-15.

    4.    ^ https://dapobud.kemdikbud.go.id/objek-benda/5bfc133b4abcfb04b4a6d550/situs-makam-syeh-abdul-ghofur-jongor

    Kategori:

    ·        Religi

    ·        Sejarah penyebaran islam

    ·        Cianjur, Cianjur

                                     SEJARAH ISTANA CIPANAS CIANJUR

    Kata cipanas berasal dari bahasa Sunda; ci atau cai artinya air, dan panas yaitu panas dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut menjadi nama sebuah desa, yakni Desa Cipanas karena di tempat ini terdapat sumber air panas yang mengandung belerang.



    Istana Kepresidenan Cipanas bermula dari sebuah bangunan yang didirikan pada tahun 1740 oleh pemiliknya pribadi, seorang tuan tanah Belanda bernama Van Heots. Namun pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, tepatnya mulai pemerintahan Gubernur Jenderal G.W. Baron van Imhoff (1743), karena daya tarik sumber air panasnya, dibangun sebuah gedung kesehatan di sekitar sumber air panas tersebut. Kemudian, karena kharisma udara pegunungan yang sejuk serta alamnya yang bersih dan segar, bangunan itu sempat dijadikan tempat peristirahatan para Gubernur Jenderal Belanda.

    Sejak didirikannya pada masa pemerintahan Belanda, Istana Kepresidenan Cipanas difungsikan sebagai tempat peristirahatan dan persinggahan. Akan tetapi sekeliling alamnya yang amat indah menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjungnya, sehingga pada masa pemerintahan van Imhoff itu, tempat persinggahan/peristirahatan sempat beralih fungsi. Karena kekuatan sumber air panas yang mengandung belerang itu dan karena udara pegunungan yang sejuk dan bersih, tempat ini pernah dijadikan gedung pengobatan bagi anggota militer Kompeni yang perlu mendapat perawatan.

    Komisaris Jenderal Leonard Pietr Josef du Bus de Gisignies, misalnya, tercatat yang paling senang mandi air belerang itu. Demikian pula halnya dengan Carel Sirardus Willem Graaf van Hogendorp, sekretarisnya (1820-1841). Selain itu Herman Willem Daendeles (1808-1811) dan Thomas Stanford Raffles (1811-1816) pada masa dinasnya menempatkan beberapa ratus orang di tempat tersebut; sebagian basar dari mereka bekerja di kebun apel dan kebun bunga serta di penggilingan padi, di samping yang mengurus sapi, biri - biri, dan kuda.

    Secara fisik, sejak berdirinya hingga kini, perjalanan riwayat Istana Cipanas banyak berubah. Secara bertahap, dari tahun ke tahun, istana ini bertambah dan bertambah. Mulai dari tahun 1916, masih pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, tiga buah bangunan berdiri di dalam kompleks istana ini. Kini ketiganya dikenal dengan nama Paviliun Yudhistira, Paviliun Bima, dan Paviliun Arjuna.

    Sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1954 di masa dinas Presiden I Republik Indonesia, Soekarno, didirikan sebuah bangunan mungil, terletak di sebelah belakang Gedung Induk. Berbeda dari gedung-gedung lainnya, sekeliling dinding tembok luar serta pelataran depan dan samping bangunan ini berhiaskan batu berbentuk bentol. Dengan mengambil bentuk hiasan tembok serta pelatarannya itulah, nama gedung ini terdengar unik, yaitu Gedung Bentol. (Bentol dari bahasa sunda; padanannya dalam bahasa Indonesia bentol juga, seperti bekas gigitan nyamuk).

    Dua puluh sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1983, semasa Presiden II Republik Indonesia, Soeharto, dua buah paviliun lainnya menyusul berdiri, yaitu Paviliun Nakula dan Paviliun Sadewa.
    Istana Kepresidenan Cipans juga pernah difungsikan sebagai tempat tinggal keluarga oleh beberapa keluarga Gubernur Jenderal Belanda. Yang pernah menghuni bangunan itu adalah keluarga Andrias Cornelis de Graaf (yang masa pemerintahannya 1926 -1931), Bonifacius Cornelius de Jonge (1931), dan yang terakhir, yang bersamaan dengan datangnya masa pendudukan Jepang (1942), adalah Tjarda van Starkenborg Stachourwer.

    Setelah kemerdekaan Indonesia, secara resmi gedung tersebut ditetapkan sebagai salah satu Istana Kepresidenan Republik Indonesia dan fungsinya tetap digunakan sebagai tempat peristirahatan Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia beserta keluarganya.

    Istana Kepresidenan Cipanas ini juga mencatat peristiwa penting dalam sejarah garis haluan perekonomian Indonesia, yaitu bahwa pada tanggal 13 Desember 1965, Ruang Makan Gedung Induk, pernah difungsikan sebagai tempat kabinet bersidang dalam rangka penetapan perubahan nilai uang dari Rp1.000,00 menjadi Rp1,00, tepatnya pada masa Presiden Republik Indonesia Soekarno dan pada waktu Menteri Keuangan dijabat oleh Frans Seda.

    Sesuai dengan fungsi Istana Kepresidenan Cipanas, tidak digunakan untuk menerima tamu negara. Namun, pada tahun 1971, Ratu Yuliana pun meluangkan waktunya untuk singgah di istana ini ketika berkunjung ke Indonesia.

    (Istana Kepresidenan RI, Sekretariat Presiden RI, 2004)

    Sumber : presidenri.go.id

    Sejarah Perang Banten Melawan VOC Belanda

    Banten adalah nama satu wilayah di pulau Jawa yang letaknya berbatasan dengan Jakarta, dan pernah menjadi salah satu pusat perdagangan besar di Indonesia pada abad ke 16 setelah penguasaan Malaka pada tahun 1511 M. Letaknya di dekat Selat Sunda menjadi pintu gerbang alternatif untuk jalur pelayaran dari Barat sejak awal abad ke 17 M. Ketika itu pelabuhan Banten semakin ramai dikunjungi pedagang dari daerah Barat dan Timur, salah satunya adalah bangsa Portugis. Belanda mengikuti dengan mendarat di Banten pada tahun 1596 M dengan dipimpin Cornelis de Houtman.
    Pada awalnya penguasa Banten yaitu Maulana Muhammad menerima baik kedatangan Belanda, namun karena Belanda bersikap kurang bersahabat dan ingin memonopoli perdagangan, maka rakyat Banten melawan dan mengusir Belanda dari Banten. Setelah itu Belanda mengirimkan ekspedisi kedua ke Indonesia yang terdiri dari delapan buah kapal, yang kali ini diterima dengan baik karena pada saat itu Banten sedang dalam peperangan dengan Portugis di Malaka. Para pedagang Belanda juga bersikap lebih bersahabat dan pandai mengambil hati raja Banten sehingga tujuan mereka untuk membawa rempah – rempah bisa dikatakan berhasil.
    Banten Melawan Monopoli VOC
    Sejarah perang Banten berawal dari perdagangan rempah – rempah yang seringkali diangkut dari Maluku ke Banten terutama oleh pedagang dari Jawa. Di Banten juga terdapat koloni bangsa Arab, Turki, Gujarat, Siam dan Parsi, juga perkampungan Melayu, Ternate, Banda, Bugis, Banjar, Makassar dan perkampungan lainnya. Dalam sejarah berdirinya Banten juga menjadi pelabuhan untuk pelayaran dari Utara terutama Cina, maka pedagang Cina juga memiliki pengaruh yang tidak sedikit di pelabuhan Banten dengan memberi pinjaman untuk jual beli komoditi, berdagang atau menjadi pengecer. Mereka mendatangkan barang – barang sutra dan porselen sampai Banten menjadi penguasa pasar di seluruh Nusantara, dan penguasa Banten tidak menginginkan adanya monopoli perdagangan dari siapapun yang berdagang di pelabuhannya.
    Pesatnya perkembangan Banten sebagai kota pelabuhan terbesar Nusantara menarik keinginan VOC untuk menguasainya. Mereka melakukan cara kotor dengan memblokade kapal – kapal Cina dan juga kapal yang datang dari Maluku yang akan masuk ke Banten. Karena sering mendapat pertentangan dari rakyat Banten, Belanda kemudian membangun kota pelabuhan di Sunda Kelapa atau Jayakarta. Pelabuhan itu kemudian dinamakan Batavia oleh Belanda pada tahun 1619 M, sejak itu terjadi perebutan posisi sebagai bandar perdagangan internasional antara Banten dan VOC. Ketahui juga silsilah kerajaan Banten Islam, sejarah VOC Belanda, dan sejarah berdirinya VOC.
    Masa Pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa
    Ketika Pangeran Surya atau Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta pada 1651 M, beliau berusaha memulihkan Banten sebagai pusat perdagangan internasional dengan melakukan beberapa langkah berikut:
    • Mengundang para pedagang dari Inggris, Perancis, Denmark dan Portugis untuk ikut melakukan perdagangan di Banten.
    • Memperluas hubungan perdagangan dengan Cina, India dan Persia.
    • Mengirimkan kapal – kapal untuk mengganggu armada VOC
    • Membangun saluran irigasi dari Sungai Ujung Jawa hingga ke Pontang sebagai persiapan untuk lalu lintas suplai ketika terjadi perang dan juga untuk mengaliri padi.
    VOC membangun benteng – benteng di Batavia untuk menghadapi Banten yang diharapkan dapat membendung serangan yang datang dari darat dan laut. Pada 1671 Sultan Ageng mengangkat Sultan Haji sebagai Sultan Muda yang bertugas untuk mengurus masalah dalam negeri, sedangkan Sultan Ageng dan Pangeran Purbaya mengurusi masalah yang berhubungan dengan luar negeri. Pembagian dalam tata pemerintahan Kesultanan Banten ini membuka peluang bagi Belanda untuk menghasut Sultan Haji agar tidak memisahkan urusan pemerintahan di Banten dan mereka juga mempengaruhi Sultan Haji yang ambisius mengenai kemungkinan Pangeran Purbaya yang akan diangkat sebagai Raja dan pemimpin Kesultanan Banten. Sejarah perang Banten dimulai dari hasutan Belanda tersebut.
    Sultan Haji yang terhasut kemudian bersekongkol dengan VOC untuk menguasai kerajaan Banten seluruhnya dengan beberapa syarat yang menguntungkan VOC, yaitu agar perdagangan lada di Banten menjadi dibawah kekuasaan VOC, mengusir pedagang dari Cina, India dan Persia, Cirebon harus diserahkan kepada VOC, dan menarik kembali pasukan Banten  yang menguasai pantai. Pada 1 Maret 1680, Sultan Haji menurunkan ayahnya yaitu Sultan Ageng dari tahta kesultanan dan mengangkat dirinya sendiri sebagai Sultan Banten.
    Perang Banten Pada Masa Sultan Ageng Tirtayasa
    Tindakan Sultan Haji menimbulkan reaksi dari rakyat Banten yang tidak mengakuinya sebagai Sultan, dan berperang melawan VOC serta Sultan Haji demi kesetiaan mereka pada Sultan Ageng Tirtayasa. Pasukan Sultan Ageng berhasil menguasai seluruh Banten kecuali istana Sultan Haji karena memiliki benteng pertahanan yang kuat. Pada tanggal 12 Februari 1682 perang saudara di Banten pecah ketika pasukan Sultan Ageng menyerbu Surosowan, tempat kediaman Sultan Haji. VOC yang dipimpin Caeff mempertahankan tempat tersebut dengan Sultan Haji. Ketika bantuan dari Batavia datang, mereka menyerang bailk hingga pasukan Banten mengungsi ke Ciapus, Pagutan dan Jasinga. Kemudian pada tanggal 28 Desember pasukan VOC yang dipimpin Jonker, Tack dan Michielsz menyerang Pontang, Tanara dan Tirtayasa sehingga Sultan Ageng terpaksa menyelamatkan diri ke pedalaman.
    Sejak itu ia diburu VOC agar mau menyatakan diri takluk pada kuasa VOC dalam sejarah perang Banten. Sultan Ageng beserta Pangeran Purbaya dan Syeikh Yusuf, menantunya mendirikan markas di Lebak atau yang sekarang dikenal sebagai Rangkasbitung. Sultan Ageng melancarkan pertempuran dengan Belanda selama setahun, namun sering menderita kerugian hingga Syeikh Yusuf tertangkap. Akhirnya pada bulan Maret 1683, Sultan Ageng Tirtayasa menyerah kepada Belanda dan ditawan di Batavia hingga kematiannya pada 1695. Syeikh Yusuf dibuang ke Ceylon, lalu ke Afrika Selatan hingga wafatnya, sementara Pangeran Purbaya meneruskan perjuangan di daerah Periangan dengan bergerilya namun akhirnya terpaksa menyerah juga.
    Akhir Kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa
    Belanda kemudian membuat perjanjian kembali dengan Sultan Haji untuk mengembalikan semua budak milik Belanda yang lari ke Banten, mengembalikan orang – orang Belanda yang membelot ke Banten, melarang Banten ikut campur dalam masalah – masalah politik di daerah yang berada di bawah wewenang Kerajaan Mataram, semua kerugian akibat aksi bajak laut Banten dan sabotase diganti rugi, dan melarang orang asing lain untuk melakukan kegiatan ekonomi di Banten kecuali untuk orang Belanda. Ketahui juga mengenai masa kolonial Eropa di Indonesia dan silsilah kerajaan Mataram kuno.
    Dengan demikian Sultan Haji memang mendapatkan posisinya sebagai Sultan Banten namun ia hanya berperan sebagai Sultan boneka dan bawahan Belanda dengan mengorbankan ayahnya, saudara – saudaranya dan juga rakyatnya sendiri. Setelah ia wafat pada 1687, putra Sultan Haji yaitu Abu Fadl Muhammad Yahya menggantikan hingga wafat juga pada 1690. Adiknya yaitu Abu Mahasin Zainal Abidin menggantikan. Setelah bubarnya VOC pada 1798, daerah – daerah kekuasaan VOC di Indonesia dikuasai langsung oleh pemerintah Belanda. Sejak itu dimulailah masa penjajahan Belanda di Indonesia.
    Setelah itu dalam sejarah perang Banten ada beberapa pemberontakan lagi di Banten terutama pada masa Daendels yang memaksa ribuan rakyat untuk kerja paksa membangun pelabuhan perang Sultan Abdul Nasar dan Patih Wargadireja yang menolak mengorbankan rakyatnya kemudian dikejar oleh pasukan militer Belanda, kemudian menghukum Sultan dengan memindahkan istana ke Anyer, mengirim 1000 orang pekerja setiap harinya, dan menangkap Patih Wargadireja. Perlawanan yang berlanjut akhirnya membuat Patih Wargadireja tertembak dan Sultan dibuang ke Ambon, Belanda merampas seluruh daerah kesultanan. Ketika Daendels membangun proyek jalan raya Anyer – Panarukan, Banten dibawah pimpinan Sultan Ahmad juga melawan dengan melibatkan sebagian rakyat Lampung, namun pada akhirnya perlawanan tersebut juga gagal.