profil sejarah julukan kota cianjur
Logo Cianjur jago |
Tugu mamaos cianjur |
Untuk menambah wawasan asalusulnya banten dan cianjur,semoga bermanfaat....
Logo Cianjur jago |
Tugu mamaos cianjur |
Masjid Agung Cianjur Tempo Dulu |
RADARCIANJUR.com-Banyak nama-nama tempat di Cianjur seperti Muka, Sayang, dan lainnya.
Itu ternyata diambil dari sejarah dulu ketika Eyang Dalem Cikundul mendapat tugas dari penerus Syeh Syarif Hidayatullah untuk mendirikan kerajaan kecil di wilayah kosong bekas wilayah Pajajaran.
Penjaga makam Cikundul, Acep mengatakan, sebelum mendirikan Kabupaten Cianjur ia sering berdzikir di kawasan Sagalaherang, Subang.
Saat berangkat ia hanya diberi petunjuk untuk mendirikan kerajaan di kawasan selatan sebelah barat. Petunjuk lainnya adalah wilayah yang harus dijadikan kerajaan itu sering dijadikan tempat mandi hewan badak berwarna putih.
“Kini sumur tempat mandi hewan badak putih masih ada di dekat pegadaian,” katanya.
Acep mengatakan, setelah mendapat petunjuk tersebut Eyang Dalem Cikundul akhirnya menemukan tempat pemandian badak putih.
Lalu ia membawa pasukan dan sekitar 500 keluarga ke tempat tersebut. Dalam perjalanan membawa pasukan, ada beberapa nama yang hingga kini masih dipakai nama wilayah di Cianjur, di antaranya Muka yang berarti Eyang Dalem Cikundul bersama pasukannya mula membuka wilayah Cianjur, Rancabali saat menemukan kawasan rawa lalu pasukan balik lagi, Sayang Heulang dimana pepohonan tinggi dan banyak tempat burung Elang menetap, Salakopi dimana para pasukannya bersama keluarga memetik biji kopi sebagai perbekalan, dan pamoyanan tempat berjemur.
Sekitar tahun 1691-1692 Masehi berdirilah secara resmi negeri Kerajaan Cianjur yang merdeka dan berdaulat penuh, dipimpin Raden Aria Wiratanu Datar.
Ia diberi tugas menyebarkan agama Islam di wilayah Cianjur, Sukabumi, dan sebagian wilayah Bogor. Memasuki usia lanjut kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya yang bernama raden Aria Wiramanggala yang bergelar Raden Aria Wiratanu Datar Tarikolot.
Di masa usia lanjutnya Eyang Dalem Cikundul berangkat menuju arah Utara lalu mendirikan perguruan Islam di wilayah Cikalongkulon. Tahun 1692- 1695 Masehi Eyang Dalem Cikundul tutup usia dan kemudian disemayamkan di bukit pasir Gajah, Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon.
“Ada ciri-ciri yang saya dengar tentang Eyang Dalem Cikundul, sejak kecil sekitar umur tiga tahun ia mempunyai kegemaran naik ke atas bukit dan menghadap ke arah kiblat seolah-olah merenung dengan mata yang menerawang. Gaung suaranya sangat terkenal sekalipun berbisik maka dapat didengar oleh orang yang dipanggil,” katanya.
Lanjut Acep, Eyang Dalem Cikundul yang sempat beristri bangsa Jin saat bertafakur di Sagala Herang selama 40 hari.
“Eyang diperistri Nyai Tina Dewisrina yang merupakan wujud dari tiga Jin bernama Arum Wangi, Arum Endah, dan Arum Sari putri dari Raja Jin Islam Syeh Zubaedi di negeri Batu Agung, Tengger Agung, Sagala Herang, Subang,” katanya.
Dari Nyai Tina Dewisrina Eyang Dalem Cikundul mendapat tiga putera yakni Raden Suryakencana yang dititipkan di Gunung Gede, Raden Sukaesih Carancang Kancana yang dititipkan di Gunung Ciremai, dan Raden Andaka Wirusajagat yang dititipkan di Gunung Kumbang, Karawang.
“Untuk menghormati Raden Suryakencana dari Gunung Gede hingga saat ini sering digelar kuda kosong jika masuk ke hari jadi Cianjur. Ia dikenal sebagai penjaga Kabupaten Cianjur. Tak heran meski kudanya kosong tapi selalu terlihat kelelahan, beberapa keturunan Eyang saja yang masih bisa menghadirkan Raden Suryakencana yang masih keturunan Jin Islam,” pungkasnya.
(radar cianjur/dil/may)
7°26’8.78″S, 107° 6’13.25″E
Telusur Situs,13 Januari 2016, Ditemukan situs yang oleh orang kampung lokasinya di sebut “Pasir Gao’ “, menuju ke lokasi : dapat ditempuh dari Cianjur – Cibeber – Campaka – Sukanagara – Cibinong —- Sindang Barang – ke (arah barat) ketemu jembatan sungai Ci Sadea — ketemu Jembatan sungai ambil jalan ke kanan di tepi sungai sebelum menyebrang jembatan – lurus ke Utara sekitar 3 km jalan sangat terjal dan berbatu dan sempit (mobil biasa jangan maksa ke sana, mending jalan kaki), lalu menyebrang jembatan anak-anak sungai sampailah di warung di bawah kiri jalan.
Dari Warung tersebut menuju ke lokasi, pengunjung menyeberangi sungai kecil yang kalau musim kemarau tidak berair (kering) berpasir, dari sini dilanjutkan melintas pematang sawah masyarakat dan sampailah di tepi bukit yang namanya “Pasir Gao’ ” tidak ada jalan setapak menuju ke puncaknya. Dengan menerabas semak-semak yang kadang berduri (lebih baik bawa golok untuk buka jalan), hingga puncak bukit/pasir memakan waktu 30 menit sampailah di dekat pohon Kiara di sisi Timur Dataran puncak bukit dan Pohon Gempol di sisi Barat dataran puncak bukit. Di dataran puncak diantaranya oleh penguasa tanah di tanami pohon jati yang cukup rapi. Di dataran puncak di bawah pohon2 jati yang baru setinggi 2 meteran terlihat sangat rapi tertutup rumput berduru (sejenis vegetasi putrimalu) tetapi tidak hidup dengan subur (kerdil), hanya hidup melapisi batuan yang lapuk (jangan dicabut keras dan berduri).
Setelah melakukan pengamatan sekilas dengan terbatasnya waktu ditemukan batu besar (hanya satu) panjang 1,5 m tinggi 1 m dan lebar 1 m, dari batu tersebut menghadap ke utara nampak jajaran batu kapur yang tersusun berundak (batu kapur tersebut berasal dari bukit setempat yang merupakan bukit kapur, pemanfaatan bangunan dari batu kapur masih berlanjut hingga kini oleh masyarakat kampung. Di bawah pohon Gempol terdapat serupa makam, oleh orang kampung sering untuk sesajian. Kadang ada yang datang dari Banten, Bandung menuju makam ini dan tidak tahu menahu bahwa itu suatu bangunan besar (punden berundak).
RADARCIANJUR.com – Makam Karomah Eyang Jamhar yang menjadi salah satu makam keramat di Kampung Tarigu, Desa Sindanglaya, Kecamatan Cipanas, kondisinya kurang terawat akibat keterbasan dana. Hal tersebut dikeluhkan warga, yang memang akhir-akhir ini para peziarah yang datang sudah mulai ramai kembali.
Fasilitas pendukung seperti akses jalan dan tempat berkumpul para peziarah juga masih belum dibangun, bahkan jauh dari kondisi layak untuk para pengunjung. Untuk menuju ke situs bersejarah tersebut hanya bisa dilintasi dengan cara berjalan kaki, karena jalan masuk menuju ke makam hanya berupa batasan kebun milik warga.
Kuncen yang sekaligus warga Kampung Tarigu Jajang (50) mengatakan, ingin adanya perhatian dan bantuan dari pemerintah setempat. Karena makam tersebut merupakan salah satu makam keramat di Cipanas.
“Jalan masuk dari tepi jalur Mariwati berada di pinggir saluran irigasi dan hanya cukup untuk sepeda motor. Itupun mesti disimpan di rumah warga, karena untuk menuju ke makam mesti berjalan kaki,” kata Jajang saat ditemui dirumahnya, Minggu (14/7).
Bagi pengunjung yang menggunakan kendaraan seperti mobil dan motor, tidak bisa langsung menuju makam, harus berjalan kaki sekitar 100 meter menuju ke lokasi makam. “Makam keramat sendiri berada di ‘Lebak Pasir’ (turun bukit, red) sehingga harus jalan kaki dari depan gapura Kampung Tarigu sekitar 100 meter,” jelasnya.
Ia mengatakan, para peziarah yang datang pun sudah mulai ramai. Bahkan setiap malam Senin dan malam Jumat yang bertepatan dengan kliwonan, lokasi makam sering dipenuhi puluhan peziarah dari berbagai daerah.
Menurut Jajang, Eyang Jamhar merupakan generasi pertama di wilayah Kampung Tarigu, Desa Sindanglaya yang menjadi penyebar Islam di wilayah Cipanas.
“Eyang Kobul diperkirakan hidup pada abad ke-17 Masehi dengan menyebarkan Islam di sekitar Sindanglaya, Cipanas, Balakang, dan perbatasan Cibodas saat ini,” kata dia.
Aktivitas kunjungan umumnya untuk berziarah sekaligus berdoa, berzikir, dan meminta karomah dari sang pencipta dengan langsung datang ke makam Eyang Jamhar. Kendati belum terlalu banyak dan setiap hari, tetapi peziarah yang datang justru dari luar daerah Cipanas.
“Kalau yang berziarah itu cukup banyak, bahkan beberapa dari luar kota seperti Sukabumi, Banten, Cikalong, dan wilayah luar Cipanas juga sering datang,” kata Jajang.
Senada diucapkan Ustadz Jaira, Tokoh Agama di Kampung Tarigu menginginkan segera ada kucuran dana bantuan dari pemerintah setempat. Karena makam ini dinilai cukup bisa berdampak pada potensi ekonomi warga.
“Kan kalau sudah difasilitasi dari segi akses jalan, serta tempat yang layak di dekat makam, InsyaAllah kedepannya makam keramat ini akan lebih ramai dikunjungi peziarah,” kata ustadz.
Sementara ini, dikatakan Ustadz, makam Eyang Jamhar tersebut banyak didatangi untuk meminta karomahnya. Bahkan beberapa peziarah ada yang sampai bermalam, karena dianggap bisa memberikan sesuatu yang lebih berkah.
“Jika misalnya ada informasi menyimpang yang menyebutkan situs makam Eyang Jamhar ini untuk sesuatu yang mistis, itu tidak benar. Karena mengunjungi makam ini betul-betul untuk berziarah dan mendoakan ulama terdahulu, bukan untuk mencari kekayaan,” tuturnya.